Karangkajen jika ditilik dari lingkungan konsentris - sudut pandang sosiologi kekuasaan Jawa adalah kampung/desa yang berada di wilayah “mancanegara”. Mbah Haji Hasan (1766-1853) dikenal sebagai cikal bakal kampung ini. Masa hidup Mbah Hasan dimulai setelah 11 tahun, ketika Mataram telah terbagi dua sebagai buah Perjanjian Gianti (1755). Mataram bagian timur dengan ibukota Surakarta (Jawa: Surokarto) untuk Pakubuwono III yang bergelar Sunan. Sedangkan Mataram bagian barat dengan ibukota Yogyakarta (Jawa: Ngayogyokarto) untuk Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Perjanjian itu sendiri terjadi antara Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi dan Belanda, dengan perantara seorang Arab yang dikabarkan berasal dari tanah suci yang membawa perintah Khalifah untuk mendamaikan Pangeran Mangkubumi dengan Belanda.

Mbah Hasan memiliki keturunan antara lain Mbah Haji Idris (1792-1875) dan Mbah Haji Ja’far (1822-1899). Dari Mbah Haji Ja’far yang beristrikan ndoro Masayu lahir delapan anak, empat laki-laki dan empat perempuan, yaitu: 

  • Mbah Kyai Haji Abu Bakar (1849-1922) tinggal di Karangkajen
  • Mbah Nyai Haji Nur (1853-1920) tinggal di Kauman
  • Mbah Kyai Haji Saleh (1855-1917) tinggal di Karangkajen
  • Mbah Kyai Haji Ketib Wetan (1858-1927) tinggal di Kauman
  • Mbah Kyai Haji Abdul Majid (1862-1931) tinggal di Kauman
  • Mbah Nyai Haji Umar (1865-1939) tinggal di Karangkajen
  • Mbah Nyai Haji Ageng (1869-1943) tinggal di Kauman
  • Mbah Nyai Haji Abdul Hadi (1874-1949) tinggal di Karangkajen

Dengan melihat data diatas jelas bahwa antara Karangkajen dan Kauman memiliki ikatan patrimonial - emosional, tidaklah mengherankan kalau sebagian warga Kauman yang telah meninggal dimakamkan di Karangkajen, termasuk pendiri Muhammadiyah dan para petinggi organisasi tersebut seperti KHA Dahlan (1923), Ketua PP Muhammadiyah KH Ibrahim, KH Hisyam (Eyang Mas Hadinegoro) dan seterusnya KH Badawi, KH Yunus Anis, KH AR Fakhrudin, KH Ahmad Azhar, serta HM Djazman Wardan Diponingrat, dll.

Dengan demikian, Mbah Hasan adalah perintis yang babat alas, membuka hutan di “mancanegara” menjadi pemukiman perkampungan yang memiliki fasilitas tempat peribadatan (Masjid) dan kuburan.

Pada perkembangannya pemukiman tersebut dikenal dengan nama Karangkajen, kampung yang memiliki banyak kaji sehingga diajeni. Masyarakat Karangkajen yang saaleh dengan demikian adalah kumpulan anak keturunan Mbah Hasan yang beragama Islam termasuk mukimin-mukimin yang telah bertahun-tahun menempati tempat itu, hidup dan berkehidupan atas dasar nilai-nilai dan norma-norma sebagaimana dituntunkan Rasulullah SAW. 

Identitas Karangkajen

Sementara ada pihak yang mengatakan, Karangkajen adalah “Madinah”-nya Yogyakarta. Satu predikat yang sangat berat membebani. Namun di lain pihak, orang menyebut Karangkajen sebagai Kampung Santri, wallahu a’lam.

Namun bukan mustahil bila dikemudian hari orang menyebut Karangkajen sebagai kampung kos-kosan karena banyak warganya yang menjual jasa dengan menginvestasikan ratusan juta rupiah untuk membangun rumah kos lalu menyewakannya kepada siapa saja yang membutuhkan. Ditambah lagi dengan membeli mobil baru yang harganya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.

Rumah kos tanpa pemilik rumah ikut tinggal menetap di rumah itu untuk melakukan pengawasan ketat, tentu akan membawa akibat dan pengaruh negatif yang tidak terlalu sulit diprediksi. Hasilnya, sudah banyak fakta yang dapat dijadikan bukti bahwa rumah kos dijadikan oleh sebagian anak-anak kos untuk mabuk-mabukan, judi, tempat penyimpanan dan pengedaran narkoba, sarana pergaulan bebas, yang itu semua akan merusak generasi muda dan lingkungan sekitarnya. Masya Allah wa naudzubillah min al-mubadzirin wa al-syaithon al-rajiim.

Sebagai bagian dari masyarakat kota, masyarakat pra/industri bahkan masyarakat agraris yang terbiasa berperilaku rasional ditambah dengan berubahnya iklim kehidupan yang cenderung hedonis materialistis maka sekarang ini identitas Karangkajen sebagai “Madinah”-nya Yogyakarta atau sebagai kampung santri pantas dipertanyakan.

Berbagai fasilitas umum sudah sejak lama dimiliki Karangkajen. Jauh sebelum kemerdekaan atau abad 18 (1790), Masjid Karangkajen sebagai pusat kegiatan sosial agama telah berdiri dengan makam di sebelah baratnya. Masjid yang mula-mula didirikan oleh Mbah Ja’far bersama masyarakat Karangkajen, awalnya hanya berukuran 10 x 10 m, dan belum memiliki pawestren dan serambi.

Semua Mbah Hasan bermaksud membangun Masjid di suatu tempat di selatan Karangkajen. Setelah memohon petunjuk dari Allah SWT, ditawang-tawang dan di musyawarahkan dengan sebagian anggota masyarakat Karangkajen waktu itu, akhirnya diputuskan untuk membangun Masjid di pusat Karangkajen.

Berdasarkan surat dari Kawedanan Hageng Punokawan Wahono sarto Kriyo Kraton tertanggal 16 Januari 1977 Nomor: 02/W&K/77 menerangkan bahwa sama sekali tiada sangkut paut dengan Kraton Yogyakarta. Dokumen dari Kraton bernomor 215/W&K/1991 tertanggal 12 November 1991 memperkuat hal tersebut. Penjelasan dari penghulu Kraton KH KRT Wardan Diponingrat dan penghulu penggantinya KH KRT Ahmad Kamaludiningrat semakin memperkuat bahwa Masjid Karangkajen dibantu pembinaannya oleh Kraton Yogyakarta dengan memberi kekancingan kepada beberapa wagra Karangkajen.

Sultan selaku pemegang pemerintahan Kraton Yogyakarta yang bergelar Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrahman Sayyidin Panotogomo, Khalifatullah, membantu pembinaan Masjid Karangkajen dengan mengangkat beberapa warga Karangkajen sebagai abdi yang diberi kekancingan. Kekancingan itu meliputi tugas-tugas seperti: ketib, muadzin, berjamaah, merbot, dan ulu-ulu (petugas yang mengurusi air). Ini sama halnya dengan langkah pemerintah RI yang mengangkat guru sekolah - sekolah swasta menjadi pegawai negeri dan diberi gaji, SK (besluit/kekancingan), akan tetapi diperbantukan untuk tugas disekolah-sekolah partikelir tersebut.

Tidaklah mengherankan bila kemudian Masjid Karangkajen terdaftar di Kraton sebagai Masjid yang dibantu dan dibina oleh Sultan Ngayogyakarta sebagai Sayyidin Panotogomo. Hal yang agak mirip belum lama ini terjadi pada Masjid Cipto Assalam, Jalan Bantul (tepatnya di sebelah selatan Pojok Beteng Kulon, red).

Muhammadiyah Ranting Karangkajen melalui Masjid Karangkajen juga memiliki Masjid binaan, sedikitnya terdapat 10 Masjid dan Mushalla yang dimiliki oleh Muhammadiyah Ranting dalam program bantuan dan pembinaan. Masjid dan Mushalla tersebut diantaranya adalah:

  • Masjid An Nur (Pajangan, Bantul)
  • Masjid Al Amien (Kretek, Bantul)
  • Masjid Al Hidayah (Girisubo, Gunung Kidul)
  • Masjid Al Barokah (Pathuk, Gunung Kidul)
  • Masjid Al Fatah (Kokap, Kulon Progo)
  • Masjid Nurul Jannah (Nanggulan, Kulon Progo)
  • Masjid Al Barokah (Giri Mulyo, Gunung Kidul)
  • Masjid Al Muttaqien (Giri Mulyo, Gunung Kidul)
  • Mushalla Temu (Bantul)
  • Masjid Al Hikmah (Manding, Bantul)

Pada tahun 2003 Masjid Karangkajen direnovasi dimana selain memperluas Masjid dengan tanah disebelah timurnya, bangunannya pun juga diperluas dengan lantai atas yang digunakan untuk perkantoran, perpustakaan, poliklinik, ruang kelas yang akan dilengkapi dengan komputer dan berbagai fasilitas penunjang lainnya. Langkah-langkah rasional proses renovasi ini sudah diupayakan sedangkan langkah tradisionalnya dengan berjihad dengan harta untuk merampungkan renovasi hingga tekumpul dana kurang lebih Rp. 623.000.000.

Menurut informasi yang keshahihannya dapat dipertanggung jawabkan, warga Muslim Karangkajen merasa tidak sayang membangun rumah berharga puluhan bahkan ratusan juta baik itu untuk disewakan atau tempat kos, atau sekedar memperbaiki teras, pagar, kamar mandinya. Selain itu sering kita lihat banyak warga Karangkajen yang memiliki mobil lebih dari satu dengan harga yang tidak murah pula, mungkin puluhan bahkan ratusan juta untuk satu unitnya. Akan tetapi ironisnya, program renovasi Masjid yang mencanangkan gerakan Rp.10.000.000 (sepuluh juta) untuk 50 (lima puluh) orang justru mengalami kegagalan, atau “hanya” belum berhasil saja? Semoga bisa berhasil dikemudian hari.

Alhamdulillah sebagian diantara warga Karangkajen yang peduli dengan Masjidnya telah ikhlas untuk turut berpatisipasi menyukseskan program sepuluh juta tersebut, bahkan ada diantaranya yang menyumbang lebih dari sepuluh juta. Namun, mereka yang diyakini dan diperhitungkan mampu mengikuti gerakan sepuluh juta tampaknya masih “asyik” menunda-nunda waktu untuk berjihad dengan hartanya. Atau bisa saja mereka “mungkin” sedang menganggarkan untuk membeli kasur tidur seharga Rp.7.000.000 sementara untuk Masjid cukup antara Rp.500.000 - Rp.2.000.000 Alhamdulillah wa inna lillah.

Antara tahun 1861 - 1927, juru kunci Makam Karangkajen bernama Atmopingi (1830 - 1940). Atmopingi hanya memiliki satu anak laki-laki yang bernama Atmoweran. Satu-satunya saudara laki-laki dari Atmopingi ialah Mangunjemiko (1833-1924). Mangunjemiko memiliki 3 orang anak yaitu Karso (Bapak Kang Amat Rojan/suami Yu Barid), Mangunmanap, dan Mangunbasyar (bapak dari Pak Zuber). Atmopingi ini pernah memiliki seorang istri nyonyah londo. Dengan pola kehidupannya yang seperti itu, Atmopingi terlilit hutang yang tidak bisa dilunasi. Sekitar tahun 1939, Atmopingi memberi amanat kepada Mughni untuk menggantikannya sebagai juru kunci Makam Karangkajen. Sementara Mughni (yang menggantikannya) bukanlah saudara dekat dan tidak memiliki pertalian darah dekat dengan Atmopingi.

Ma’badah atau Mushalla, Masjid khusus perempuan jika di Kauman berdiri sejak 1922, di Karangkajen baru ada tahun 1927. TK (Taman Kanak-Kanak) didirikan tahun 1947 dan bertempat di sebelah selatan Mushalla Aisyiyah sampai sekarang.

Kampung-kampung di Yogyakarta seperti Karangkajen, Kotagede, Bausasran, Ngabean, dan Suronatan, 6 (enam) tahun setelah Muhammadiyah berdiri telah memiliki Sekolah Dasar (SD) yang pada tahun 1918 - 1923 masih disebut dengan Sekolah Ongko 2 (Loro). Pada tahun itu, Suronatan memiliki satu sekolah Ongko Loro dengan lima kelas dan jumlah muridnya sebanyak 376 murid serta 13 guru. Sedangkan Karangkajen memiliki satu sekolah Ongko Loro dengan lima kelas dan jumlah muridnya 115 serta 6 guru. Bausasran dengan satu sekolah Ongko Loro dengan lima kelas, 157 murid dan 6 guru. Kotagede mempunyai satu sekolah dengan empat kelas, 146 murid, dan 6 guru. Dan terakhir, Ngabean memiliki satu sekolah dengan 150 murid dan 6 guru.

Sekolah Dasar (SD) pada mulanya bertempat di sebelah utara Mushalla lalu berpindah tempat di rumah Abdullah Zamawi baru kemudian sekitar tahun 1939 atau sebelum Jepang menjajah Indonesia menempati bangunan di sebelah barat Pasar Telo sampai sekarang. Ketika SD dipugar, ada beberapa rumah warga yang dipergunakan untuk kegiatan belajar mengajar diantaranya Rumah Mbah Darwis (Salakan), Rumah Zahid (selatan Masjid Karangkajen) dan utara Mushalla, Mardiwaran, Gedung TK ABA, dll. Selain itu sudah sejak lama Karangkajen memiliki BKIA/Rumah Bersalin.

Banyak orang mengenal Karangkajen selain sebagai Kampung Santri, Industri Batik juga karena mereka bersekolah di sekolah-sekolah yang berada di Karangkajen. Selain itu ketenaran Karangkajen yang berdakwah di pedesaan atau pelosok yang jauh dari keramaian Kota Yogyakarta.

Ringkas kisahnya, Karangkajen dikenal karena sebagian warganya berperilaku rasional dan tradisional. Mereka tidak tanggung-tanggung berjihad dengan apapun yang dimiliki. Berjihad dalam arti ikut berperang melawan penjajah dilakukan dengan bergabung dengan angkatan perang Sabil dan Hizbullah. Berjihad melawan hawa nafsu dikerjakan dengan penuh kesadaran dalam rangka taat kepada Allah, Pencipta segala mahkluk. Berjihad dengan harta dengan membangun berbagai macam fasilitas umum lainnya.